Rabu, 25 Maret 2009

Iklan Politik dan Politisasi Petani

Iklan Politik dan Politisasi Petani
Diberitakan petani dan pertanian kita berada dalam situasi kritis. Infrastruktur dan sistem irigasi tidak terbangun dalam 10 tahun terakhir yang berdampak pada kenaikan angka gagal panen (puso) di musim kemarau. Banyak salah sasaran penerima subsidi pupuk. Sistem pengadaan benih dan pestisida yang ngawur. Hingga kurangnya penyuluh pertanian. Ditambah lagi, sebagai bangsa agraris, Indonesia ternyata sudah masuk dalam perangkap pangan negara maju dan kapitalisme global.
Menarik mencermati bagaimana diskursus soal petani dan pertanian dalam iklan-iklan politik. Sebab, melalui itu akan tergambar pengetahuan, pemahaman, sikap serta program-program aksi yang akan dilakukan bila saatnya mereka berkuasa. Sekaligus juga menampilkan pola distribusi kekuasaan di internal produsen teks iklan sebagai implikasi atas kompetensi dan kredibilitas informasi, argumen dan rasionalitas terkait isu yang diwacanakan. Bila didisain secara sistematis dibalut kejujuran dan ketulusan, iklan politik efektif memobilisasi optimisme publik bahwa petani dan pertanian kita memiliki masa depan yang lebih baik. Sayangnya, sejak kampanye pemilu 1999, 2004 hingga yang beredar sejauh, iklan-iklan politik miskin dalam dua hal : pemahaman realitas objektif serta alternatif gagasan yang solutif, otentik dan mencerahkan atas karut-marut persoalan di sektor ini.
Kelemahan
Dengan nalar sederhana saja, kita bisa memastikan petani merupakan profesi yang pasti muncul di iklan-iklan politik dari dua pemilu yang kita lalui. Ia dikemas dan di make over sedemikian rupa jadi kelihatan lebih kumuh dan mengenaskan. Bertopi caping, menunduk badan sambil tersenyum melihat kamera di tengan sawah yang hijau royo-royo. Persis seperti tercermin dalam romantisme lukisan anak-anak sekolah dasar. Di scene yang berbeda, mereka diplot mendukung si anu sambil mengepalkan tangan. Ini narasi umum (mainstream idea) iklan politik yang kita lihat sehari-hari sejak dulu. Menjemukan, simplisistis dan mereduksi konteks persoalan yang melingkupinya. Iklan-iklan politik tipe ini merefleksikan beberapa kelemahan mendasar.
Pertama, terjebak pada generalisasi perlakuan antara iklan (baca : pesan, informasi, teks) produk dan non produk (ide, gagasan). Eksplorasi, elaborasi dan koherensi antar data yang tersedia dalam mengemas iklan produk relatif lebih mudah dilakukan dibandingkan non produk. Informasi produk umumnya telah tersedia, sifatnya tertutup dan partikularis. Sedangkan informasi pada iklan non produk adalah isu sosial, milik publik atau tengah menjadi diskursus di masyarakat. Publik memiliki kebenarannya masing-masing tentang isu yang diangkat. Bila pengiklan politik abai dalam memonitor beragam alternatif gagasan yang berkembang di masyarakat, maka yang terjadi adalah peneguhan logika mitos yang salah kaprah selama ini.
Mari kita gugat kedalaman pemahaman pengiklan politik soal profil petani. Apakah sosok yang dicitrakan selama ini adalah representasi umum petani kita? Apa saja kriterianya? Dua soal ini saja bukan perkara mudah ketika menjelma menjadi wacana publik. Di level pakar, pemerhati dan pengambil kebijakan formal di sektor pertanian saja belum tercapai konvensi umum. Misalnya, pemerintah (BPS dan Deptan) mengelasifikasi petani berdasarkan kepemilikan luas lahan semata. Di sisi lain, banyak kalangan mengoreksi kriteria ini dengan kritis. Katakan kriteria mata pencaharian utama. Sebab, sekedar ilustrasi, di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara (termasuk banyak daerah lain) akan dengan mudah kita dapatkan pemilik lahan pertanian yang profesi utamanya adalah PNS/pensiunan atau pengusaha sektor lain? Apakah kelompok ini layak dikategorikan petani?
Kedua, sarat dengan propaganda kosong. Kurang fokus dan -ini yang penting-tidak terukur. Susah payah kita temukan iklan-iklan politik yang tegas dan lugas menerangkan arah, proyeksi dan keakanan nasib petani dan pertanian negeri ini yang akan dituju dalam jangka waktu tertentu. Sebuah platform pertanian yang komprehensif. Visi dan missi Barack Obama tentang pemotongan pajak, penarikan pasukan dari Irak, minyak dan pengangguran yang disampaikan dalam pidato pengukuhannya sebagai capres AS dari Partai Demokrat baru-baru ini layak dijadikan referensi.
Indikasi propaganda kosong ini semakin jelas saja dengan kerapnya iklan-iklan politik bertema mengabaikan nilai-nilai (values) di dalamnya. Pengabaian ini, menurut Nicholas Jackson dan O’ Shaughnessy (2004) penulis buku Politics and Propaganda adalah dengan cara menihilkan fungsi advokasi nilai di dalamnya.Sebuah pilihan sikap dan komitmen yang bersifat intrinsik dan universal : kejujuran dan ketulusan. Sesuatu yang mulai meredup dalam praktik komunikasi bermedia kita belakangan ini. Termasuk dalam iklan-iklan politik kita. Pengiklan kita paling doyan menghamburkan kemuraman, pesimisme atau aspek-aspek negatif lain dari dunia pertanian kita. Kalaupun ada bernada positif, itupun umumnya berasal dari sektor lain, misalnya bidan terapung, siswa peraih medali olimpiade atau pengusaha UKM yang sukses. Padahal, kalau mau jujur, tidak sedikit petani-petani kita yang layak dijadikan endorser iklan untuk mengadvokasi dan menginspirasi petani-petani lain.
Terakhir-yang merupakan akar dari dua masalah di atas-adalah tidak optimalnya fungsi riset pendahuluan (preliminary reserach) dalam proses produksi teks iklan politik. Intuisi-subjektif lebih mengemuka ketimbang objective by research. Ada dua pola yang melahirkan situasi ini. Kreator berperan sekedar eksekutor iklan. Hanya menjalankan taklimat (brief) dan keinginan pengiklan politik (partai politik) dengan data yang ala kadarnya. Proses interaksi bersifat instruktif dan satu arah. Terjadi pertarungan dan distribusi kekuasaan yang tidak seimbang. Pola lain, kreator berperan seolah-olah kreator yang “sesungguhnya” (pseudo creator). Merancang iklan seolah-olah berdasarkan data yang memadai, kredibel dan melalui proses penelusuran panjang dan melelahkan. Padahal, didapatkan hanya melalui focus group discussion yang terbatas dan narasumber yang kurang kredibel.
Idealnya, menurut Cook (1992) dalam bukunya The Discourse of Advertising, sebagai pertarungan wacana, proses produksi teks iklan merefleksikan distribusi kekuatan yang seimbang. Artinya, baik ekspresi, komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara atau citra tentang petani dan pertanian kita yang digambarkan dalam iklan politik idealnya merupakan hasil dialog yang setara dalam proses produksinya. Ia bersedia memberikan ruang-ruang dialog, sehingga lahir tesis-anti tesis-sintesis teks yang inspiratif bagi publik. Tidak berhenti pada pertunjukan kuasa atas modal.
Saat ini iklan politik tengah berjalan ke arah cultural entity. Sehingga setiap pencapaian yang terekam dalam riwayat kesejarahannya bisa dimaknai sebagai level-level pencapaian peradaban industri komunikasi politik kita. Ia akan mencerahkan manakala substansi yang ditransmisikan kental aroma dan rasa advokasi nilai-nilai moral, etika dan rasionalitas publik. Pada akhirnya petani benar-benar merasa terlibat sebagai bagian dari iklan politik. (priza, nov 08)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar