Rabu, 25 Maret 2009

Di balik Kemilau Industri Periklanan

Dibalik Kemilau Industri Periklanan
Muskil rasanya menghindar dari jeratan, perangkap bahkan paksaan iklan dalam kehidupan modern dewasa ini. Ia tak ubahnya seperti udara yang kita hirup. Bersifat ubiquity, serba ada di mana-mana. Dengan iklan apapun bisa diciptakan. Ada lelucon di kalangan praktisi periklanan bahwa sebuah partai atau kandidat politik tidak perlu risau dengan segala stigma negatif yang melekat dalam dirinya. Sebab iklan bisa berfungsi layaknya dry laundry, menyuci yang koruptor jadi dermawan atau alim ulama. Orang Batak jadi Njawani atau artis dangdut berlagak jadi politisi senior. Bahkan, bila diminta, calon presidenpun bisa terbang, seperti superman atau spiderman.
Mari kita cermati soal belanja iklan di negeri ini. Empat tahun pasca krisis ekonomi 1997, pertumbuhan belanja iklan masih fluktuatif sifatnya. Satu tahun positif, tahun berikutnya negatif yang hanya berkisar Rp 5.6 – 9.3 trilun (Cakram, 02/02). Setelah itu kecenderungan terus meningkat. Dalam semester pertama 2008 saja, belanja iklan membukukan nilai yang fantastis, Rp 15.8 triliun. Melonjak dua kali lipat dibandingkan nilai tengah belanja iklan enam tahun lalu. Lebih seru lagi- pemerintah dan organisasi politik yang nota benenya adalah konsumen baru periklanan- menyodok di urutan ketiga dan 12 pembelanja iklan terbesar dengan nilai belanja sekitar Rp 769 miliar. Padahal dalam periode yang sama menjelang pemilu 1999 belanja iklan politik hanya sekitar Rp 94 miliar. Dipastikan belanja iklan politik menuju pemilu 2009 akan terus naik mengingat masa kampanye masih tersisa lima bulan lagi.
Dominasi Asing
Periklanan menjadi institusi yang penting dan mendasar pada masyarakat kapitalis yang maju. Ia berfungsi sebagai motivator agar individu atau organisasi bekerja keras, sehingga bisa mengumpulkan uang yang banyak dan pada gilirannya menjadi gila belanja (Arthur Asa Berger; Media Analysis Techniques :1998). Masalahnya, karena itu pilihan logis globalisasi pasar bebas, lantas apakah realitas yang terjadi di industri periklanan harus dibaca sebagai given situation, oleh karenanya banyak pihak enggan menelisik realitas-realitas subjektif yang terburai dalam industri ini? Padahal, industri ini telah tertular virus klasik neoliberalisme-pemerataan, keadilan dan dominasi asing-sejak diintroduksi pada era kolonial.
Sejatinya, tanpa banyak sorotan dan publisitas, biro iklan asing telah berkiprah di Indonesia sejak tahun 1970-an. Sebagian besar mereka berasal dari negara kapitalis besar, seperi Jepang, Eropa Barat dan Amerika Serikat. Bahkan dari 10 biro iklan trans-nasional terbesar di dunia, lima diantaranya telah menancapkan kukunya di Indonesia. Hebatnya, pada tahun 1977 saja sebuah biro iklan yang berpusat di Amerika Serikat telah meraup pemasukan 5 juta dolar. Seakan kurang puas dengan aksi individual, dengan kekuatan modal, profesionalisme SDM serta teknologi yang dimilikinya, agensi asing ini semakin powerful dengan berafiliasi biro iklan lokal yang bermodal besar. Kinerjanya dahsyat. Pada saat awal krisis ekonomi saja (1997-2000), 9 dari 20 biro iklan peraih billing terbesar adalah pemain asing atau afiliatornya. Hanya 3 saja yang asli punya bangsa sendiri. Sementara versi Advertising Age, dari 18 peraih billing terbesar, semuanya berasal dari afiliasi asing.
Dominasi ini ternyata tidak berhenti di level modal, tetapi merangsek sampai ke level manajemen. Sulit kita temukan posisi-posisi puncak di ad agency asing atau afiliasinya-sebut saja bagian kreatif- berasal dari negeri sendiri. Umumnya posisi ini diduduki oleh pekerja ekspatriat yang penghasilannya jauh lebih besar dari pekerja lokal. Tetapi akan mudah kita dapatkan pengiklan kakap mengkaryakan biro iklan asing hanya dengan pertimbangan subjektif, seperti kebijakan principal yang hanya menggunakan biro iklan tertentu untuk menangani iklan produk mereka. Realitas industri seperti ini tentu saja memarjinalkan pemain lokal bermodal kecil. Satu kesempatan di media massa, seorang pemilik biro iklan lokal kecil berkomentar (antara bercanda dan pesimis) soal dominasi pemodal besar ini. Katanya “...Sepuluh kali pitching yang menang Cuma dua misalnya. Hal itu sebenarnya dialami oleh setiap orang biasa seperti kita. Tapi kalau orang-orang luar biasa akan mendapatkan keistimewaan tertentu. Ikut tender sepuluh menangnya lima belas”
Regulasi
Terabaikannya aspek pemerataan dan keadilan di industri ini menggugah kesadaran kita. Secara makro, ia menggelitik rasa nasionalisme kita sekaligus juga menggugat peran negara yang gagal memberi keadilan bagi segenap pelaku dunia usaha, terutama ketika menghadapi tekanan pemilik modal. Sumber kegagalan ini bisa saja berasal dari kekurangawasan negara akan strategisnya industri ini dalam mendorong pertumbuhan ekonomi makro dan dampak sosial-politik-kultural yang ditimbulkannya. Lihat saja dari sisi regulasi. Hampir semua perangkat legalitas-formal terkait iklan masih dicangkokan pada undang-undang penyiaran, undang-undang perdagangan, undang-undang perlindungan konsumen dan lain-lain. Belum terintegrasi dalam satu perangkat regulasi. Di sisi lain, negara sibuk merancang peraturan yang remeh temeh, seperti soal porno aksi dan pornografi yang kontraversial itu.
Secara mikro, dominasi iklan yang dikreasi oleh biro iklan asing ini akan berdampak lahirnya pertarungan kekuasaan yang tidak seimbang dalam proses produksi iklan. Dalam situasi distribusi kekuasaan yang tidak seimbang, peran pemilik modal dan struktur organisasi di biro iklan akan menjadi signifikan dalam menentukan eksekusi akhir sebuah iklan. Padahal. dari segi latar belakang akademis dan pengalaman, mereka tidak cukup kompeten sebagai penentu keputusan akhir. Siapa mereka? Ya itu tadi, para pekerja ekspatriat atau karyawan lokal yang berperan sebagai mesin-mesin produksi gagasan asing.
Alhasil, publik dihidangan content iklan yang ajaib, hiper reality bahkan mengada-ada. Penuh muatan kekerasan, pornografi, eksploitasi perempuan serta kerap mengabaikan muatan kultur dan sosio-psikologis lokal. Alih-alih untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestik, kemilau pertumbuhan iklan politik belakangan ini justru hanya memperkaya segelintar kapitalis periklanan asing saja. Tentu kita tidak rela industri yang prospektif ini jadi parasit, kata ekonom terkenal Thorsrein Veblen. Atau sebagai instrumen pembodohan secara moral dan intelektual kepada masyarakat. hujat ahli sejarah Arnold Toynbee (priza, Okt 08).

Iklan Politik dan Politisasi Petani

Iklan Politik dan Politisasi Petani
Diberitakan petani dan pertanian kita berada dalam situasi kritis. Infrastruktur dan sistem irigasi tidak terbangun dalam 10 tahun terakhir yang berdampak pada kenaikan angka gagal panen (puso) di musim kemarau. Banyak salah sasaran penerima subsidi pupuk. Sistem pengadaan benih dan pestisida yang ngawur. Hingga kurangnya penyuluh pertanian. Ditambah lagi, sebagai bangsa agraris, Indonesia ternyata sudah masuk dalam perangkap pangan negara maju dan kapitalisme global.
Menarik mencermati bagaimana diskursus soal petani dan pertanian dalam iklan-iklan politik. Sebab, melalui itu akan tergambar pengetahuan, pemahaman, sikap serta program-program aksi yang akan dilakukan bila saatnya mereka berkuasa. Sekaligus juga menampilkan pola distribusi kekuasaan di internal produsen teks iklan sebagai implikasi atas kompetensi dan kredibilitas informasi, argumen dan rasionalitas terkait isu yang diwacanakan. Bila didisain secara sistematis dibalut kejujuran dan ketulusan, iklan politik efektif memobilisasi optimisme publik bahwa petani dan pertanian kita memiliki masa depan yang lebih baik. Sayangnya, sejak kampanye pemilu 1999, 2004 hingga yang beredar sejauh, iklan-iklan politik miskin dalam dua hal : pemahaman realitas objektif serta alternatif gagasan yang solutif, otentik dan mencerahkan atas karut-marut persoalan di sektor ini.
Kelemahan
Dengan nalar sederhana saja, kita bisa memastikan petani merupakan profesi yang pasti muncul di iklan-iklan politik dari dua pemilu yang kita lalui. Ia dikemas dan di make over sedemikian rupa jadi kelihatan lebih kumuh dan mengenaskan. Bertopi caping, menunduk badan sambil tersenyum melihat kamera di tengan sawah yang hijau royo-royo. Persis seperti tercermin dalam romantisme lukisan anak-anak sekolah dasar. Di scene yang berbeda, mereka diplot mendukung si anu sambil mengepalkan tangan. Ini narasi umum (mainstream idea) iklan politik yang kita lihat sehari-hari sejak dulu. Menjemukan, simplisistis dan mereduksi konteks persoalan yang melingkupinya. Iklan-iklan politik tipe ini merefleksikan beberapa kelemahan mendasar.
Pertama, terjebak pada generalisasi perlakuan antara iklan (baca : pesan, informasi, teks) produk dan non produk (ide, gagasan). Eksplorasi, elaborasi dan koherensi antar data yang tersedia dalam mengemas iklan produk relatif lebih mudah dilakukan dibandingkan non produk. Informasi produk umumnya telah tersedia, sifatnya tertutup dan partikularis. Sedangkan informasi pada iklan non produk adalah isu sosial, milik publik atau tengah menjadi diskursus di masyarakat. Publik memiliki kebenarannya masing-masing tentang isu yang diangkat. Bila pengiklan politik abai dalam memonitor beragam alternatif gagasan yang berkembang di masyarakat, maka yang terjadi adalah peneguhan logika mitos yang salah kaprah selama ini.
Mari kita gugat kedalaman pemahaman pengiklan politik soal profil petani. Apakah sosok yang dicitrakan selama ini adalah representasi umum petani kita? Apa saja kriterianya? Dua soal ini saja bukan perkara mudah ketika menjelma menjadi wacana publik. Di level pakar, pemerhati dan pengambil kebijakan formal di sektor pertanian saja belum tercapai konvensi umum. Misalnya, pemerintah (BPS dan Deptan) mengelasifikasi petani berdasarkan kepemilikan luas lahan semata. Di sisi lain, banyak kalangan mengoreksi kriteria ini dengan kritis. Katakan kriteria mata pencaharian utama. Sebab, sekedar ilustrasi, di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara (termasuk banyak daerah lain) akan dengan mudah kita dapatkan pemilik lahan pertanian yang profesi utamanya adalah PNS/pensiunan atau pengusaha sektor lain? Apakah kelompok ini layak dikategorikan petani?
Kedua, sarat dengan propaganda kosong. Kurang fokus dan -ini yang penting-tidak terukur. Susah payah kita temukan iklan-iklan politik yang tegas dan lugas menerangkan arah, proyeksi dan keakanan nasib petani dan pertanian negeri ini yang akan dituju dalam jangka waktu tertentu. Sebuah platform pertanian yang komprehensif. Visi dan missi Barack Obama tentang pemotongan pajak, penarikan pasukan dari Irak, minyak dan pengangguran yang disampaikan dalam pidato pengukuhannya sebagai capres AS dari Partai Demokrat baru-baru ini layak dijadikan referensi.
Indikasi propaganda kosong ini semakin jelas saja dengan kerapnya iklan-iklan politik bertema mengabaikan nilai-nilai (values) di dalamnya. Pengabaian ini, menurut Nicholas Jackson dan O’ Shaughnessy (2004) penulis buku Politics and Propaganda adalah dengan cara menihilkan fungsi advokasi nilai di dalamnya.Sebuah pilihan sikap dan komitmen yang bersifat intrinsik dan universal : kejujuran dan ketulusan. Sesuatu yang mulai meredup dalam praktik komunikasi bermedia kita belakangan ini. Termasuk dalam iklan-iklan politik kita. Pengiklan kita paling doyan menghamburkan kemuraman, pesimisme atau aspek-aspek negatif lain dari dunia pertanian kita. Kalaupun ada bernada positif, itupun umumnya berasal dari sektor lain, misalnya bidan terapung, siswa peraih medali olimpiade atau pengusaha UKM yang sukses. Padahal, kalau mau jujur, tidak sedikit petani-petani kita yang layak dijadikan endorser iklan untuk mengadvokasi dan menginspirasi petani-petani lain.
Terakhir-yang merupakan akar dari dua masalah di atas-adalah tidak optimalnya fungsi riset pendahuluan (preliminary reserach) dalam proses produksi teks iklan politik. Intuisi-subjektif lebih mengemuka ketimbang objective by research. Ada dua pola yang melahirkan situasi ini. Kreator berperan sekedar eksekutor iklan. Hanya menjalankan taklimat (brief) dan keinginan pengiklan politik (partai politik) dengan data yang ala kadarnya. Proses interaksi bersifat instruktif dan satu arah. Terjadi pertarungan dan distribusi kekuasaan yang tidak seimbang. Pola lain, kreator berperan seolah-olah kreator yang “sesungguhnya” (pseudo creator). Merancang iklan seolah-olah berdasarkan data yang memadai, kredibel dan melalui proses penelusuran panjang dan melelahkan. Padahal, didapatkan hanya melalui focus group discussion yang terbatas dan narasumber yang kurang kredibel.
Idealnya, menurut Cook (1992) dalam bukunya The Discourse of Advertising, sebagai pertarungan wacana, proses produksi teks iklan merefleksikan distribusi kekuatan yang seimbang. Artinya, baik ekspresi, komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara atau citra tentang petani dan pertanian kita yang digambarkan dalam iklan politik idealnya merupakan hasil dialog yang setara dalam proses produksinya. Ia bersedia memberikan ruang-ruang dialog, sehingga lahir tesis-anti tesis-sintesis teks yang inspiratif bagi publik. Tidak berhenti pada pertunjukan kuasa atas modal.
Saat ini iklan politik tengah berjalan ke arah cultural entity. Sehingga setiap pencapaian yang terekam dalam riwayat kesejarahannya bisa dimaknai sebagai level-level pencapaian peradaban industri komunikasi politik kita. Ia akan mencerahkan manakala substansi yang ditransmisikan kental aroma dan rasa advokasi nilai-nilai moral, etika dan rasionalitas publik. Pada akhirnya petani benar-benar merasa terlibat sebagai bagian dari iklan politik. (priza, nov 08)

Self-construal research

UNIVERSITY OF INDONESIA
FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE
COMMUNICATION SCIENCE DEPARTMENT
GRADUATE PROGRAM

PRIZA AUDERMANDO PURBA
6903120822
CORRELATION PATTERNS OF INDIVIDUAL’S CULTURAL VARIABILITY, INDIVIDUAL SOCIALIZATION, CULTURAL IDENTITY, GENERATIONAL CHANGE PERCEIVED WITH INDIVIDUAL SELF-CONSTRUAL (CASE ON COLLEGE STUDENTS FROM COHORT HUMAN CAPITAL GENERATION)
127 pages, 28 books, 38 journals, 5 newspaper’s articles

ABSTRACT
Western biases, over generalization or dichotomized conception still exists in various communication products. Especially if refers to cross-cultural communication. We can get it in advertising creativities, politician statements and unfortunately, also comes from analysis of communication scholars. In the other words, it reflects the efforts for throwing out individual variations within culture. Meanwhile, there is a seggregation cultural tendencies in dominant culture, mainly for students. In Indonesian context, we can see it in cohort of human capital generation.

One of individual variation is self-construal, which had been interesting subject for international social-psychology and communication scholars since 1991. This concept had been widely applied to communication practises. The most famous of self-construal theory came from Gudykunst et al. They contended that there are several concepts correlates (direct and indirect) to self- construal. This study try to replicate it with individual from cohort human capital generation as reserach subject.

Using survey method, questionnaires data collection and path analysis method, the study isolated three important results. Firstly, direct effect scores of cultural variability with self-construal greater than its indirect effect. Direct effect scores of generational change perceived with self-construal greater than its indirect effect.

Cultural identity has insignificance correlation to self-construal. Meanwhile, individual socialization just has a direct correlation with self-construal. Secondly, scores of total direct effects greater than total indirect effects. Thirdly, causes of all the insignificance correlations to self-construal that was contributed by cultural identities, so path model has to be adjusted by fit model test. Fit coefficient indicated that fit model was better model than path model

This study also isolated three decisions. Firstly, this study resulted a different conceptualization, operationalization, measurement with Gudykunst’s concept. Secondly, study has integrated Gudykunt’s self-construal theory in to a path model and using path analysis method. Thirdly, this study resulted a better model than Gudykunst’s self-construal theoritical framework. This three decisions implies to explication of Gudykunst’s self-construal concept, replication of Gudykunst’s self-construal theories, and modification of Gudykunst’s self-construal theoritical framework.

This study also suggests two recommendation for next research. Firstly, for increasing external validity degrees, subsequent researcher ought to take a careful examination of theoritical requirements, such as context (structure-culture), limitation of psychology and culture orientation of research subject, number and degree of groups that is important to subjects and practises needs. Secondly, for communication practitioners (marketing, organization and politics) to redefine, and focuses their segmentation concept base on self-construal concept.